Monday, April 2, 2012

" Laa Adri..!!


Suatu malam dalam majelisnya, setelah menyampaikan pengajian umum – Karena saat itu adalah hari-hari menjelang puncak pelaksanaan ibadah haji,  maka pengajian Sunan Tirmidzi dihentikan  beberapa waktu- Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr –Hafidzahullah- ditanya oleh seorang jamaah pengajian melalui secarik kertas yang dibacakan oleh muridnya. Soal itu berbunyi:


Saya memiliki sebuah usaha berupa menyediakan tempat permainan billyard. Dan tempat permainan ini banyak dikunjungi, khususnya para anak muda. Pertanyaan saya, apakah hukum dari hasil usaha tersebut..?!


Setelah terdiam sejenak, beliau menjawab: “ Laa Adri..!!
Beberapa saat kemudian beliau bertanya kepada muridnya tentang bentuk dari permainan yang bernama billyard tersebut. Sang muridpun mencoba menjelaskan bahwa permaianan tersebut berupa tongkat kayu yang digunakan untuk mendorong beberapa bola kecil yang diletakkan diatas sebuah meja dan memiliki enam buah lubang disetiap sisinya dan seterusnya.
Walaupun sang murid telah menjelaskan namun sepertinya belum bisa memberikan gambaran yang jelas bagi Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad sebelum beliau memberikan sebuah Fatwa. Sebuah Fatwa yang akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah Subhanahu wa Ta Ala.
Alhasil, jawaban dari pertanyaan tersebut adalah, “ Laa Adri “.


Bagi murid-murid beliau yang sering duduk dalam majelisnya, jawaban seperti ini bukanlah sesuatu yang aneh, bahkan tidak jarang terdengar. Sebuah jawaban dari salah seorang ulama paling senior dikota Madinah yang sudah mulai mengajar didalam masjid Nabawi sejak bertahun-tahun. Senioritas, kebesaran nama, keluasan ilmu tidak menghalangi beliau untuk mengatakan " Laa Adri ".


Jika kita ingin menelaah, sebetulnya bukan hanya jawaban itu yang perlu diperhatikan, namun ada sebuah tujuan mulia yang ingin dijarkan kepada murid-muridnya, para penuntut ilmu yang dikemudian hari juga akan ditanya.
Meneladankan sikap berhati-hati untuk tidak serta-merta memberikan sebuah jawaban tanpa memahami dengan sempurna maksud dari sebuah pertanyaan. Apapun Alasannya. Ingat, agama ini milik Alah dan RasulNya, dan bukan milik manusia. Bukankah dalam sebuah Kaidah dikatakan: “Alhukmu ‘ala syaiin, Far’un ‘an tasawwurihy “. Artinya, Sebuah hukum sangat bergantung kepada esensi dari masalah itu sendiri.


Kala membaca sirah para ulama terdahulu, kita akan menyimpulkan bahwa mereka begitu memperhatikan hal ini dengan senantiasa mengingatkannya kepada murid mereka dalam majelis-majelis ilmu.

Diantara pesan itu: “ Ajarkan kepada murid-murid kalian kalimat “ Laa Adri “, karena sesungguhnya kalimat itu adalah sepertiga dari ilmu “.
Dalam sebuah majelisnya Syekh Muhammad Mukhtar Asy-Syinqity - Hafidzahullah- berpesan:
“ Tidaklah seseorang ditanya tentang sebuah masalah yang tidak diketahuinya lalu dia mengatakan “ Laa Adri” kecuai jawaban itu akan menuntunnya untuk selalu mencari dan belajar. Dan tidaklah seseorang yang selalu menjawab setiap pertanyaan walaupun tanpa ilmu, kecuali sikap itu akan menggiringnya menuju kebinasaan “.

Jika menyimak kisah perjalanan hidup Imam Malik bin Anas -Rahimahullah-, Imam Daarul Hijrah, salah seorang ulama madzhab yang dikatakan bahwa beliau tidak keluar meninggalkan kota madinah, kecuali untuk haji dan umrah, maka kita akan menemukan bahwa kepribadian beliau adalah salah satu teladan terbaik, indah nan anggun dalam masalah ini. Mari kita simak sebuah kisah berikut.

Pada suatu hari berjalanlah seorang lelaki dari Yaman menuju Madinah Al Munawarah. Dia rela menempuh perjalanan yang begitu jauh lagi melelahkan tersebut dengan tujuan menanyakan sekitar empat puluh pertanyaan kepada Imam Malik bin Anas. Mengingat dizaman itu, beliau adalah salah satu ulama paling tersohor keilmuannya. Begitu berhadapan dengan Imam Malik dia mulai memaparkan pertanyaannya satu-persatu. Namun, terjadi satu hal tidak terduga sebelumnya dalam benaknya. Ternyata hanya beberapa pertanyaan saja yang mendapatkan jawaban, sementara sebagian besarnya hanya mendapatkan ungkapan “ Laa Adri “..!!

Sontak saja, lelaki tersebut melakukan protes. “ Mana Imam Malik yang dikatakan berilmu luas, masa’ hampir semua pertanyaan saya tidak mendapatkan jawaban darinya..??!
Mendengar ungkapan itu sang Imam mencoba memahamkan bahwa, memang dia tidak mengetahui jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut. Apakah dia harus membuat-buat jawaban sendiri demi kepuasan lelaki tersebut semantara jawaban dari pertanyaan itu berhubungan dengan agama Alah..?!”

Beliau juga berpesan kepada lelaki tersebut:
“ Jika mau, engkau boleh mendatangi pasar dan mengumumkan pada khlayak ramai bahwa Malik hanya mampu menjawab: “ Laa Adri..!!

Bukan merupakan sebuah aib ketika seorang alim tidak mengetahui tentang suatu hukum. Disebut " Alim " bukanlah berarti harus mengetahui segala hal. Justru yang akan menjadi sebuah khilaf dan aib ketika kita berani mengeluarkan sebuah pendapat tanpa berdasarkan pada sebuah ilmu yang dapat dipertanggung jawabkan. Apalagi jika hal tersebut berhungan dengan agama Allah dan RasulNya. Maka ketika kita menjawab dengan ungkapan “Laa Adri ”, maka sesungguhnya dengan kalimat itu kita telah menyelamatkan diri kita dari kebinasaan dan siksa neraka.


Gengsi, sombong dan hati yang tidak ikhlas adalah faktor terbesar yang akan menjadi penghalang bagi setiap orang yang yang disebut “ Alim “ untuk mengatakan “ Laa Adri”.
Semakin tersohor nama seorang alim dikalangan masyarakat, akan semakin sulit baginya untuk mengucapkan " Laa Adri " jika ditanya. Hanya mereka yang memiliki hati yang takut kepada hak Tuhannya dan ikhlas serta berjiwa besar  yang mampu mengucapkan kalimat itu didepan masyarakat yang sudah terlanjur mengaguminya.

Saya sengaja menukil kisah Ulama sekarang agar orang menyadari bahwa kisah teladan yang begitu harum semerbak mewangi mengiringi sejarah perjalanan ulama bukan hanya milik ulama terdahulu dan bukan hanya sebuah dongeng. Profil kepribadian luhur itu tenyata adalah sesuatu yang nyata dan masih hadir ditengah-tengah kita untuk ditularkan yang tercermin dalam sikap dan akhlak ulama yang masih bercengkarama dengan kita saat ini. Maha Suci Allah untuk itu.
Salah seorang murid Imam Malik bertutur:
“ Sesungguhnya kami belajar dari akhlak imam Malik lebih banyak dari ilmunya “.

Kita lebih memerlukan kepada keindahan akhlak yang terpancar dari sebuah sumber airmata ilmu walaupun sedikit, daripada ilmu yang banyak namun tidak lebih dari penghias sebuah logika.
So, kadang kita harus menegakkan kepala, menyampingkan sebuah  gengsi untuk bisa mengucapkan 'Laa Adri, alias saya ga tau.."


Semoga Allah berkenan menjaga mereka dalam kebaikan dan membalas segala rajutan keikhlasan mereka segala keindahan janjiNya. Amien.

Wallahu A’lam.


Saifullah Zain.
seif_zain@yahoo.com



Senin, 02 April 2012

1 comment: